Oleh Prabowo Subianto [diambil dari Buku 2 Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto. Bab VI: Sikap-sikap Pemenang]
M. Margono Djojohadikusumo, eyang saya, adalah seorang penggemar wayang. Karena kesibukan ayah, saya banyak menghabiskan masa kecil saya bersama eyang. Karena itu, saat kecil saya banyak belajar tentang pewayangan. Salah satu hal yang saya pelajari, dan saya ingat sampai sekarang, adalah pelajaran kepemimpinan dari lakon wahyu makutha rama.
Dalam wahyu makutha rama, diceritakan ilmu kepemimpinan yang lebih dikenal oleh publik sebagai hasta brata, ini sangat luar biasa sehingga dua orang titisan Bathara Wisnu; Raja Ayodya dan Raja Dwarawati berhasil jadi raja yang besar. Sri Bathara Kresna kemudian menurunkan ilmu ini kepada Arjuna. Dengan hasta brata ini Arjuna mampu koreksi kepemimpinan Dasa Muka yang dikenal arogan dan penuh angkara murka.
Arti dari hasta adalah delapan, sedangkan arti dari brata adalah watak. Hasta brata adalah delapan ajaran perilaku, delapan watak yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Delapan ajaran ini berlandaskan hukum-hukum alam. Kedelapan hasta brata adalah:
Pindo Jaladri
Pindo Candra
Pindo Kartika
Pindo Surya
Pindo Arga
Pindo Dahana
Pindo Bayu
Pindo Bahana
Pertama, seorang pemimpin harus pindo jaladri. Harus bersifat seperti samudera. Samudera itu luas tak bertepi, dan setiap hari siap menampung apa saja dari segala penjuru. Samudera juga selalu siap dan mampu membersihkan segala kotoran yang dibuang ke samudera oleh orang-orang yang tidak baik. Samudera juga memberikan rasa ketenangan bagi mereka yang melihatnya. Pindo jaladri, seorang pemimpin hendaknya mempunyai keluasan hati dan pandangan, dapat menampung semua aspirasi dari siapa saja, dengan penuh kesabaran, kasih sayang, dan pengertian terhadap rakyatnya. Seorang pemimpin hendaknya menempatkan semua orang pada derajat dan martabat yang sama, sehingga dapat berlaku adil dan bijaksana.
Pelajaran kedua dalam wahyu makutha rama adalah seorang pemimpin harus pindo candra. Harus berlaku seperti bulan, yang terang dan sejuk. Seorang pemimpin mampu merawat hati rakyatnya dengan sikap keseharian yang tegas dan keputusannya yang tidak menimbulkan konflik. Seorang pemimpin juga harus mampu memberikan dorongan atau motivasi untuk membangkitkan semangat rakyatnya, dalam suasana suka dan duka. Selain itu, kehadiran seorang pemimpin bagi rakyat haruslah menyejukkan. Seorang pemimpin harus memancarkan kebahagiaan dan harapan, seperti cahaya bulan yang menumbuhkan semangat dan harapan-harapan.
Pelajaran ketiga dalam wahyu makutha rama adalah pindo kartika. Seorang pemimpin harus bisa menjadi seperti bintang. Bintang memancarkan sinar yang terang, dan mempunyai tempat yang tetap di langit hingga dapat menjadi pedoman arah. Seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan, tidak ragu menjalankan keputusan-keputusan yang telah disepakati, serta tidak mudah terpengaruh oleh pihak-pihak yang menghasut dan menyesatkan.
Prinsip keempat dalam wahyu makutha rama adalah seorang pemimpin harus pindo surya. Seperti matahari yang memberi sinar kehidupan yang dibutuhkan oleh seluruh jagat. Energi dari seorang pemimpin harus memberi petunjuk dan solusi atas masalah-masalah yang dihadapi rakyatnya. Selain itu, seperti matahari yang memancarkan sinar sebagai sumber kehidupan, seorang pemimpin harus mampu mengembangkan kemampuan rakyatnya untuk membangun bangsa dan negara.
Seorang pemimpin harus pindo arga, seperti gunung. Seperti sifat gunung yang teguh dan kokoh, seorang pemimpin harus memiliki keteguhan, kekuatan fisik dan psikis serta tidak mudah menyerah untuk membela kebenaran maupun membela rakyatnya. Juga seperti gunung, seorang pemimpin harus penuh hikmah saat harus memberikan sanksi. Dampak yang ditimbulkan dengan cetusan kemarahan seorang pemimpin diharapkan membawa kebaikan seperti halnya efek letusan gunung berapi yang menyuburkan tanah.
Seorang pemimpin harus pindo dahana, berprinsip seperti api. Seperti sifat yang dimiliki oleh api, energi seorang pemimpin diharapkan mampu menghangatkan hati dan membakar semangat rakyatnya untuk berbuat kebaikan dan memerangi kejahatan. Selain itu, api memiliki kemampuan untuk membakar habis dan menghancurkan segala sesuatu yang bersentuhan dengannya. Artinya, seorang pemimpin haruslah berwibawa dan harus bisa menegakkan kebenaran dan keadilan secara tegas dan tuntas tanpa pandang bulu.
Seorang pemimpin juga harus pindo bayu, seperti angin. Seperti halnya angin, seorang pemimpin harus mampu bepergian dan hadir di mana saja, tak mengenal tempat dan waktu. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus mampu berbaur di semua lapisan masyarakatnya dan bersikap adil, tidak diskriminatif atau membeda-bedakan antara ras, golongan, dan agama. Lalu, tidak hanya berbaur untuk sekadar berbaur, seorang pemimpin juga harus mampu memahami dan menyerap aspirasi rakyat.
Prinsip kedelapan dalam wahyu makutha rama adalah pindo bahana. Seorang pemimpin harus berprinsip seperti bumi. Seperti bumi, seorang pemimpin harus berusaha untuk selalu siap dan mampu menjadi menjadi sumber kebutuhan hidup bagi siapa pun. Seorang pemimpin mengerti apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya dan memberikan bantuan kepada siapa saja tanpa pilih kasih. Meski selalu memberikan segalanya kepada rakyatnya, seperti bumi, seorang pemimpin tidak menunjukkan sifat sombong dan pamrih. Bumi senang beramal dan senantiasa berusaha untuk tidak mengecewakan rakyatnya.
Sumber: https://prabowosubianto.com/hasta-brata/