The Leadership of an Indonesian National Leader: Brigadier General TNI Posthumous Slamet Riyadi

by -96 Views
The Leadership of an Indonesian National Leader: Brigadier General TNI Posthumous Slamet Riyadi

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Di medan perang, Slamet Riyadi selalu berada di depan pasukannya. Slamet Riyadi, dengan pasukannya yang terkenal dan legendaris, selalu mampu menyaingi pasukan Belanda. Slamet Riyadi membuktikan bahwa TNI dan Republik Indonesia mampu menyerang pusat kekuasaan Belanda, termasuk Surakarta (Solo), yang dijaga dengan senjata berat, artileri, pasukan infanteri, dan komandan-komandan yang baik.

Letnan Kolonel Slamet Riyadi telah membuktikan kepada generasi pemimpin TNI selanjutnya bahwa dia adalah seorang pemimpin yang selalu memimpin dari garis depan. Dia selalu hadir di tempat dan waktu yang paling kritis, mengontrol situasi dari dekat dan memberikan contoh. Dia tidak gentar dihadapi dengan bahaya apapun, dan dia rela memberikan nyawanya demi kemuliaan Indonesia dan TNI.

Pada usia yang masih muda, Ignatius Slamet Riyadi, lahir pada 26 Juli 1927, membentuk pasukan gerilya untuk mendukung proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Dia telah berjuang sejak era penjajahan Jepang. Pada awal masa pendudukan Jepang, Slamet Riyadi, yang berasal dari Solo, masuk dalam Akademi Militer Angkatan Laut Pemerintah Militer Jepang di Jakarta.

Pada suatu kesempatan, dia bertemu dengan sesama nasionalis yang sedang berkomplot untuk mengusir Jepang. Ketika Jepang akhirnya kalah dalam Perang Dunia II, Slamet Riyadi mengajak rekan-rekan pelautnya untuk mengangkat senjata. Mereka bahkan berhasil menguasai sebuah kapal Jepang.

Setelah itu, Slamet Riyadi kembali ke Solo dan mengumpulkan para pemuda bekas anggota pasukan bersenjata yang pernah diorganisir oleh Jepang seperti PETA, Heiho, dan Kaigun untuk mendukung perjuangan Rakyat Solo melawan pasukan Belanda yang mencoba untuk merebut kembali Indonesia.

Slamet Riyadi terlibat langsung dalam berbagai pertempuran melawan Belanda dalam perjuangannya, termasuk selama Agresi Militer Belanda pertama dan kedua. Slamet Riyadi memimpin pasukan di beberapa wilayah di Jawa Tengah, termasuk di Ambarawa dan Semarang.

Di medan perang, Slamet Riyadi selalu berada di depan pasukannya. Slamet Riyadi, dengan pasukannya yang terkenal dan legendaris, selalu mampu menahan serangan pasukan Belanda. Dia membuktikan bahwa TNI dan Republik Indonesia mampu menyerang pusat kekuasaan Belanda, termasuk Surakarta, yang saat itu dijaga ketat dengan artileri, pasukan infanteri, dan komando-komando elit.

Slamet Riyadi, dengan pangkat Letnan Kolonel, adalah seorang prajurit yang memimpin Serangan Umum Surakarta pada tanggal 7-10 Agustus 1949. Serangan tersebut, yang juga dikenal sebagai Serangan Umum Empat Hari, dilakukan sebelum gencatan senjata mulai berlaku untuk menunjukkan kekuatan TNI dalam mengusir Belanda dari negara ini. Untuk serangan yang sukses, Slamet Riyadi diberi wewenang atas Surakarta oleh Belanda melalui perintah dari Mayor Jenderal F. Mollinger.

Perjuangan Slamet Riyadi tidak berakhir di situ. Slamet Riyadi juga dikirim ke Jawa Barat untuk melawan Legiun Ratu Adil (APRA), yang dibentuk oleh Kapten Raymond Westerling mantan Angkatan Khusus Tentara Kolonial Belanda (KNIL DST) pada Januari 1950 di Bandung.

Setelah pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia pada akhir Desember 1949, Slamet Riyadi dikirim ke Ambon untuk menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) pada 10 Juli 1950.

Dalam operasi untuk menangkap Dr. Soumokil, pemimpin RMS, Slamet Riyadi dipercayakan oleh pimpinan TNI sebagai Komandan operasi untuk memimpin masuk ke Ambon.

Angkatan TNI berhasil menduduki sebagian besar Kota Ambon melalui pertempuran sengit kecuali beberapa posisi strategis, termasuk Benteng Victoria yang dijaga ketat. Pada saat itu, pasukan pemberontak diperkuat oleh bekas pasukan Angkatan Khusus kolonial Belanda yang biasa disebut ‘Topi Merah’ dan ‘Topi Hijau’, yang memiliki kemampuan dan pengalaman untuk menggagalkan serangan TNI dengan lebih efisien.

Akhirnya, Benteng Victoria direbut. Tetapi dalam pertempuran sengit di gerbang benteng, Slamet Riyadi, yang selalu berada di garis depan memimpin pasukannya, tertembak oleh peluru pemberontak saat memberikan isyarat kepada anak buahnya. Meskipun mendapatkan perawatan medis, dia meninggal pada pukul 21.45 tanggal 4 November 1950. Slamet Riyadi dinaikkan pangkat secara anumerta menjadi Brigadir Jenderal.

Brigadir Jenderal Anumerta Slamet Riyadi telah membuktikan kepada generasi pemimpin TNI selanjutnya bahwa dia adalah seorang pemimpin yang selalu berjuang di garis depan bersama pasukannya. Dia selalu hadir di tempat dan waktu yang paling kritis, mengontrol situasi di lapangan, dan memberikan contoh. Dia tidak gentar dihadapi bahaya dan kehilangan nyawanya demi kemuliaan Indonesia dan TNI.

Source link