Revisi Kitab Umum Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang sedang dalam proses di Komisi III DPR RI telah menuai kritik karena dinilai belum sejalan dengan Kitab Umum Hukum Pidana (KUHP) Nasional. Pakar Hukum Peradilan Anak dari Universitas Binus, Ahmad Sofian, menyoroti beberapa aspek yang dianggap tidak sejalan, seperti ultimum remedium, pedoman pemidanaan, dan koordinasi antara penyidikan dan penuntutan. Menurut Sofian, RKUHAP 2025 masih diragukan kemampuannya untuk menjamin keadilan dan hak asasi manusia.
Sofian juga mencatat bahwa hubungan antar lembaga penegak hukum masih berjalan secara terpisah, dengan Polri sebagai penyidik utama yang mengakibatkan ketimpangan dengan PPNS dan penyidik lainnya. Hal ini dianggapnya mengganggu prinsip sistem peradilan pidana yang terpadu. Pasal-pasal yang memberikan kewenangan penyidik untuk menghentikan proses penyidikan tanpa keterlibatan jaksa juga menjadi sorotan Sofian. Menurutnya, hal ini menyebabkan penuntutan tidak dipahami sebagai kelanjutan dari penyidikan yang terkoordinasi.
Di sisi lain, Febby Mutiara Nelson dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyoroti bahwa RKUHAP 2025 belum mengakomodasi penyelesaian perkara di luar pengadilan, terutama terkait pelaku korporasi. Dia juga menyoroti penerapan restorative justice (RJ) dalam RKUHAP yang perlu dikaji lebih lanjut. Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menyatakan bahwa targetnya adalah revisi RKUHAP dapat berlaku pada 1 Januari 2026 bersamaan dengan KUHP baru yang sudah disahkan sebelumnya.
Pihak Komisi III DPR saat ini masih akan melanjutkan rapat bersama organisasi sipil guna membahas revisi RKUHAP. Mereka juga berencana untuk menggelar rapat saat masa reses agar revisi ini dapat lebih partisipatif. Hal ini dilakukan dalam upaya untuk memastikan bahwa revisi RUU KUHAP dapat memenuhi standar keadilan dan hak asasi manusia yang selaras dengan KUHP Nasional.