Perjanjian Helsinki dan Implikasinya terhadap Pulau Sengketa

by -23 Views

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa perjanjian Helsinki tidak dapat dijadikan acuan untuk menentukan kepemilikan empat pulau yang menjadi sengketa antara Aceh dan Sumatera Utara. Menurut Yusril, Undang-undang tahun 1956 pun tidak menyebutkan status empat pulau tersebut, yang sekarang menjadi milik Sumatera Utara. Hal ini diklarifikasi oleh Yusril dalam kunjungan ke Sawangan, Depok. Yusril menjelaskan bahwa penentuan tapak batas wilayah muncul setelah zaman reformasi dengan adanya pemekaran provinsi, kabupaten, dan kota. Dia berencana untuk berdiskusi dengan Gubernur Aceh Muzakir Manaf dan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution dalam waktu dekat.

Yusril juga menegaskan bahwa hingga saat ini pemerintah pusat belum mengambil keputusan final mengenai status empat pulau, apakah masuk ke dalam wilayah Kabupaten Singkil Aceh atau Kabupaten Tapanuli Tengah Sumatera Utara. Penentuan batas wilayah kabupaten dan kota di daerah merupakan kewenangan Menteri Dalam Negeri yang akan dituangkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri). Yusril meminta semua pihak untuk menyikapi masalah ini dengan tenang dan sabar.

Dalam konteks penentuan kepemilikan pulau, Yusril memberi contoh Pulau Natuna, Pulau Miangas, dan Pulau Pasir yang memiliki histori yang serupa. Meskipun secara geografis lebih dekat dengan daerah tertentu, kepemilikan pulau ditentukan oleh sejarah dan keputusan yang telah diambil. Yusril menekankan bahwa penentuan kepemilikan pulau tidak semata-mata berdasarkan kedekatan geografis. Sebagai contoh, Pulau Pasir di selatan NTT, meskipun dekat dengan Pulau Timor, masuk dalam wilayah Australia sejak tahun 1878. Hal ini menunjukkan bahwa faktor sejarah dan keputusan arbitrase berperan penting dalam menentukan kepemilikan pulau.

Source link