Bumi Lamba: Simbol Sakral Tanah yang Tak Terbeli

by -35 Views
Bumi Lamba: Simbol Sakral Tanah yang Tak Terbeli

Ngertakeun Bumi Lamba di Gunung Tangkuban Parahu bukan hanya sebuah upacara tahunan. Ini adalah peringatan yang tajam, kadang menyakitkan, bahwa manusia bukan penguasa bumi. Kita hanyalah tamu yang sering lupa diri, mengambil terlalu banyak, memberi terlalu sedikit. Setiap tahun, ribuan orang berkumpul di sini, seolah menebus dosa kolektif kepada alam yang sudah terlalu lama kita sakiti.

Minggu, 22 Juni 2025, ribuan peserta dengan pakaian adat Sunda, Dayak, Minahasa, Bali, dan lainnya memenuhi lereng gunung. Karinding Baduy, angklung, tabuhan Minahasa, dan mantra Bali berpadu, bukan sekadar untuk didengar — tetapi untuk dirasakan sebagai teguran. Setiap denting, setiap getaran, mengingatkan kita bahwa bumi selalu memberi meski terus dilukai.

Ngertakeun berarti merawat, memelihara, memakmurkan. Bumi lamba adalah tanah luas, semesta itu sendiri. Upacara ini lahir dari kebijaksanaan Sunda kuno, dihidupkan kembali tahun 1964 oleh R.M.H. Eyang Kanduruan Kartawinata. Hari ini, ia menjadi panggilan bagi manusia untuk berhenti serakah, untuk ingat pada batas.

Tokoh-tokoh yang hadir tak lagi berbasa-basi. Bapak Wiratno berkata bahwa hanya bangsa yang mewariskan kearifan yang pantas disebut besar. Andy Utama memperingatkan: “Jangan pernah berhitung dengan bumi. Kalau bumi mulai berhitung dengan kita, kita tidak siap membayar.”

Mayjen Rido menyebut ritual ini sebagai “pengadilan batin”. Panglima Dayak, dengan suara lantang, mengatakan, “Alam tidak butuh manusia, manusialah yang butuh alam.” Dan pekikan “Taariu!” yang menggema dari lereng gunung bukan sekadar seruan — tapi sumpah, bahwa kita akan menjaga apa yang diwariskan leluhur.

Tiga gunung — Tangkuban Parahu, Wayang, Gede Pangrango — berdiri diam. Tapi diam mereka bukan tanda tunduk, melainkan pengawasan. Jika kita merusaknya, mereka juga yang akan menjatuhkan hukuman. Pesan Baduy singkat, namun menggigit: “Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak.”

Di Megamendung, Arista Montana dan Yayasan Paseban bersama Andy Utama sudah menanam lebih dari 15.000 pohon. Mereka tidak berhenti pada doa, tidak berhenti pada seremoni. Mereka bergerak. Karena bumi tidak bisa diselamatkan hanya dengan kata-kata.

Ritual ini selesai, namun pesan yang tertanam tidak boleh ikut selesai. Bumi tidak akan menunggu kita berubah. Setiap orang yang pulang dari upacara ini membawa amanah untuk menjaga bumi, karena bumi hanya bisa dijaga oleh mereka yang memeluknya dengan kesadaran penuh — bukan dengan rasa memiliki, tetapi dengan rasa hormat.

Maka, berapa lama lagi kita ingin menunda untuk berubah?