Warga Jakarta Menghadapi Kendala Panas Berlebihan, Membeli Es Batu dari Luar

by -99 Views

Bagi masyarakat Indonesia yang tinggal di wilayah tropis, cuaca panas bukanlah hal yang asing. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi orang-orang dari Eropa yang datang ke Indonesia.

Mereka sering merasa gerah dan tidak tahan dengan terik matahari tropis. Oleh karena itu, pada tahun 1845, salah satu hotel di Batavia yang bernama Hotel de Provence mulai menyajikan es batu sebagai salah satu hidangan utama setiap malam.

Es batu tersebut digunakan untuk mendinginkan suhu tubuh orang-orang yang merasa kepanasan, baik mereka adalah orang pribumi maupun orang Eropa. Menariknya, es batu yang disajikan pada saat itu tidak dibuat di dalam kulkas atau lemari pendingin seperti sekarang.

Kulkas atau lemari pendingin belum ada di Hindia Belanda pada masa itu. Tidak ada satu pun orang, baik itu bangsawan pribumi maupun orang Eropa, yang memiliki barang tersebut. Bahkan, masyarakat pada masa itu belum pernah melihat bentuk es sebelumnya. Hanya orang Papua yang tinggal di Pegunungan Jayawijaya yang pernah melihatnya. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk mendapatkan es batu adalah dengan cara impor.

Ya, Anda tidak salah dengar. Pada masa kolonial, es batu menjadi salah satu komoditas yang diimpor karena belum adanya mesin pendingin. Hal ini diungkapkan oleh sejarawan Achmad Sunjayadi dalam bukunya yang berjudul “Titik Balik Historiografi di Indonesia” (2008).

Menurut Sunjayadi, es batu menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung Hotel de Provence Batavia. Mereka dapat menikmati hidangan es sambil menikmati pertunjukan musik. Suhu tubuh yang panas pun langsung menjadi sejuk.

Etienne Chaulan adalah sosok di balik impor es batu oleh hotel ini. Dia adalah perintis dalam penjualan es batu di Batavia. Berkat dia, hotel dan banyak orang lainnya ikut-ikutan membeli es batu.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Denys Lombard dalam bukunya yang berjudul “Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia” (2008), es batu yang ada di Hindia Belanda berasal dari Boston, Amerika Serikat. Es tersebut dibuat dengan membekukan air menggunakan garam dan amoniak. Setelah membeku, es ini dicetak dalam bentuk balok. Ketika sampai di Hindia Belanda, es balok ini dipecah sesuai dengan kebutuhannya.

Menurut penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, pada masa itu, es batu di Batavia dihargai seharga lima sen per pon. Harga tersebut dianggap wajar karena es batu merupakan masalah kenyamanan.

Dengan adanya es batu, manusia tidak hanya dapat menurunkan suhu tubuh, tetapi juga dapat mengawetkan makanan. Sejak saat itu, impor es batu menjadi hal yang umum. Namun, karena harganya yang mahal, hanya orang kaya yang dapat menikmatinya.

Setelah pengetahuan tentang pembuatan es dan alat-alat produksinya masuk ke Hindia Belanda, mulai bermunculan pabrik-pabrik es. Pada awalnya, pabrik-pabrik ini dimiliki oleh orang-orang Eropa. Namun, secara perlahan, orang-orang Tionghoa mulai memproduksi es batu sendiri.

Pada akhirnya, munculnya pabrik-pabrik es ini menutup impor es batu. Setelah itu, es batu menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dalam hidangan makanan saat cuaca panas.