BUNG KARNO DAN KECAP NOMOR SATU DI SELURUH DUNIA

by -78 Views

Malaysia tidak mempunyai sejarah kecap manis dan hanya meniru Indonesia dalam pembuatan Kecap Nomor Satu di Dunia. Kurang dari tiga tahun yang lalu, di Frankfurt Book Fair, Jerman, pameran buku terbesar di dunia, almarhum Bondan ‘Maknyus’ Winarno mempersembahkan buku hasil karyanya, Kecap Manis : Indonesia’s National Condiment. Melalui buku yang eksklusif, sebanyak 300 halaman, dan diterbitkan oleh Afterhours Book, Bondan ‘mengumumkan’ bahwa kecap manis adalah warisan kuliner asli Indonesia. Buku Bondan dijual dengan harga yang cukup mahal, Rp 990 ribu. Namun, buku yang membahas secara mendalam tentang kecap, terutama kecap manis memang sesuatu yang langka. “Ini adalah buku yang luar biasa,” kata Lutfi Ubaidillah, 39 tahun, seorang pengusaha swasta dari Bandung. Lutfi bukan sekadar menyukai kecap. Dia sendiri adalah seorang ‘penggemar berat’ kecap, terutama kecap manis. “Saya selalu membawa kecap sachet ke mana-mana. Bahkan di kantor, saya selalu menyediakan botol plastik berisi kecap,” kata Lutfi. Lutfi tidak keberatan disebut ‘tidak bisa hidup tanpa kecap’. Sejak kecil di Bandung, ia menceritakan bahwa kecap manis selalu menjadi menu wajib di meja makan di rumahnya. Dia termasuk penggemar kecap yang sangat serius. Tidak hanya harus makan dengan kecap, dia juga mengoleksi botol-botol kecap dari berbagai daerah di Indonesia dan memiliki blog khusus Kecap Nomor Satu di Dunia, yaitu kecap-kecap asli Indonesia, Wikecapedia. Selama hidupnya, Bondan, seorang mantan wartawan yang gemar kuliner, juga mengoleksi berbagai macam kecap nusantara. Koleksinya sudah mencakup lebih dari seratus merek, di antaranya Kecap Blitar, kecap Zebra dari Bogor, Sawi dari Kediri, Bentoel dari Banyuwangi, Kambing Dua dari Singkawang, kecap Buah Kelapa dari Sumenep, dan Roda Mas dari Banjarmasin. Meskipun tidak banyak penggemar kecap sekaligus kolektor botol kecap seperti Bondan, Lutfi, Chef Alifatqul Maulana, dan Andrew Mulianto, seharusnya ada banyak penggemar kecap di seluruh Indonesia. Tidak mengherankan jika ada ratusan perusahaan kecap yang tersebar mulai dari Medan, Bangka, Garut, Pangandaran, Majalengka, Singkawang, Sumenep di Pulau Madura, hingga Banyuwangi. Bahkan sebagian merek kecap telah bertahan selama beberapa generasi. Mulai dari kelas besar seperti Bango, Indofood, dan ABC, hingga kelas industri rumah tangga yang hanya dikenal di daerahnya seperti kecap cap Pulau Jawa di Pekalongan, kecap Kentjana di Kebumen, atau kecap Tin Tin asal Garut, Jawa Barat. Di antara industri kecap warisan turun-temurun ini adalah kecap Maja Menjangan di Majalengka, Jawa Barat, dan kecap Cap Tomat Lombok dari Tegal, Jawa Tengah. Didirikan oleh Saad Wangsawidjaja pada tahun 1940, usaha kecap Maja Menjangan kini telah diwariskan ke generasi kedua. Saat pertama kali memulai usahanya, Saad mengendarai sepeda ontel untuk menjual kecap buatannya dari pasar ke pasar di Majalengka dan sekitarnya. Puluhan bahkan ratusan kilometer ia tempuh agar kecapnya laku terjual. “Ayah mengayuh sepeda hingga ke Indramayu yang jaraknya 70 kilometer dari rumah ini,” kata Suhardi, putra Saad, kepada DetikX. Meskipun pernah memasuki masa kejayaan pada tahun 1990-an, kecap Maja Menjangan, beserta kecap lokal lainnya, semakin terjepit oleh merek-merek besar. Namun, pengusaha-pengusaha kecap ini tidak mudah menyerah. Meskipun terus mengalami kerugian, Suhardi, yang kini mengelola Maja Menjangan, tidak mau menyerah. Meski beberapa kali perusahaan besar datang menawarkan kerjasama dan suntikan modal besar kepada pemilik Maja Menjangan dan kecap Tomat Lombok, mereka enggan melepaskan usaha warisan itu. “Mereka bertanya, apakah siap untuk memproduksi 120 ribu botol per hari? Jika tidak siap, mereka akan memberikan modal untuk memproduksi dalam skala yang lebih besar,” cerita Sumarnoto Hadisuwono, generasi ketiga pemilik kecap Cap Tomat Lombok. Namun, alih-alih senang dengan tawaran bisnis menggiurkan dari perusahaan besar tersebut, dia justru merasa cemas. “Saya takut tidak bisa mengikuti mereka, nanti yang jadi terjebaknya saya.” Pada pertengahan tahun 1960-an, Presiden Sukarno mengundang sejumlah wartawan di Jakarta ke Istana. Di sela-sela percakapan, Bung Karno ingin mengajak para tamunya untuk makan bersama. Namun, di dapur Istana hanya tersedia sepiring nasi goreng yang sudah dingin dan dua butir telur. Bung Karno hanya tertawa mendengar penjelasan dari pelayan Istana bahwa hanya nasi goreng dan telur yang tersedia di dapur Istana. Dia meminta pelayan untuk membawa sebuah botol kecap sebagai pelengkap untuk nasi goreng dan telur. Tak lama kemudian, pelayan tersebut membawa sebuah botol besar kecap. “Ini adalah kecap paling enak di dunia. Ini kecap dari Blitar,” ucap Bung Karno, seperti yang dikutip dari mantan wartawan Susanto Pudjomartono dalam tulisannya belasan tahun yang lalu. Meskipun lahir di Surabaya, Bung Karno dibesarkan di Blitar, Jawa Timur. “Bagaimana? Enak kan kecapnya?” tanya Bung Karno melihat para tamunya mencicipi kecap dari Blitar tersebut. Selera kuliner itu ternyata turun kepada putrinya, Megawati. Megawati sering meminta kecap asli dari Blitar kepada Djarot Saiful Hidayat, mantan Gubernur Jakarta yang pernah menjadi Walikota Blitar selama 10 tahun. Namun, tidak jelas merek kecap asal Blitar yang disukai oleh Bung Karno dan Megawati. Di Blitar, terdapat beberapa merek kecap, seperti Cap Bajang, Cemara, dan Cap Durian Emas. Tidak diketahui kapan kecap mulai dikenal, diadopsi, dan dirasakan oleh lidah penduduk Nusantara. Kecap, meskipun bukan resep asli negara ini, sudah sangat akrab dengan lidah orang Indonesia. Di setiap daerah, setiap pabrik, memiliki resep sendiri dalam pembuatan kecap. Bagi mereka yang ‘tidak bisa hidup tanpa kecap’, seperti halnya kopi, masing-masing kecap memiliki karakteristiknya sendiri, tergantung pada bahan baku dan cara pengolahan. Sebagai contoh, Chef Alifatqul Maulana mengaku bisa mengenali merek kecap hanya dengan mencicipinya. Di Korea Selatan, kecap disebut ganjang. Orang Jepang menyebutnya shoyu. Orang Melayu menyebutnya kicap. Di Tiongkok, asal usul kecap dipanggil jiang yu. John Locke, seorang filsuf asal Inggris, mencatat tentang saio, saus kental dari Asia Timur pada tahun 1679. William Shurtleff dan Akiko Aoyagi, dalam bukunya History of Soy Sauce, menuliskan bahwa perusahaan dagang Belanda, VOC, pertama kali mengangkut kecap dari Pelabuhan Deshima, Nagasaki, Jepang, ke Batavia di Hindia Belanda, pos dagang utama VOC di Asia Tenggara, pada tanggal 16 Oktober 1647. VOC menyebutnya soije. Usia kecap sendiri jauh lebih tua. Menurut beberapa catatan, kecap sudah dikenal di Tiongkok sekitar abad ke-3. Istilah kecap, menurut catatan VOC, juga sudah digunakan pada pertengahan abad ke-17. Shurtleff menduga, asal muasal kata kecap berasal dari dialek Hokkian, sub-dialek Zhangzhou di daerah selatan Cina daratan. Namun, banyak catatan yang hilang tentang bagaimana kecap asin yang encer dari Tiongkok dan Jepang, berubah menjadi kecap manis yang kental di Indonesia. Di Indonesia, dari barat hingga timur, kecap manis jauh lebih populer daripada kecap asin. Tidak diketahui dengan pasti kapan kecap manis mulai diproduksi di Nusantara. Ada beberapa pabrik kecap tua yang masih bertahan hingga hari ini, seperti Kecap Benteng Cap Istana dari Kota Tangerang dan Kecap Cap Orang Jual Sate dari Probolinggo, Jawa Timur. Kedua merek kecap ini sudah berusia lebih dari satu abad. Mereka didirikan pada tahun 1880-an. Namun tidak jelas apakah kedua pabrik ini sudah memproduksi kecap manis sejak awal beroperasi. Hampir sepuluh tahun yang lalu, almarhum Bondan Winarno menulis tentang kecap manis dengan judul Kecap Manis: Pusaka Kuliner Nusantara. “Kecap manis dapat dianggap sebagai produk khas Indonesia – secara lebih spesifik: Jawa. Di Tiongkok sendiri, tidak ada kecap manis, demikian juga di negara-negara Asia lainnya,” tulis Bondan. Sebagian besar merek kecap yang ada di Indonesia memang berasal dari berbagai kota di Jawa. Di Malaysia, ada satu-dua perusahaan kecap yang memproduksi ‘kicap lemak manis’ seperti Cap Jalen, Cap Kipas Udang, Adabi, dan Mudim. “Namun kecap manis mereka lebih kurang kental dan kurang hitam. Penjualannya juga terbatas,” tulis Bondan. Ia menduga perusahaan-perusahaan Malaysia tersebut hanya meniru kecap manis di Indonesia. “Malaysia tidak memiliki sejarah kecap manis dan hanya meniru Indonesia dalam pembuatan kecap manis.” Sumber: https://news.detik.com/x/detail/intermeso/20180614/Bung-Karno-dan-Kecap-Nomor-Satu-di-Dunia/ Reporter/Penulis: Pasti Liberti, Melisa Mailoa Editor: Sapto Pradityo

Source link