Brigadir Jenderal TNI Purn Gusti Ngurah Rai

by -82 Views

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I: Pemimpin Teladan TNI]

Setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, I Gusti Ngurah Rai datang ke Yogyakarta atas inisiatifnya untuk bertemu dengan Jenderal Sudirman. Dia meminta mandat kepada Jenderal Sudirman untuk membentuk Tentara Republik Indonesia (TRI) di Bali dan Nusa Tenggara, yang disebut Sunda Kecil.

Kemudian dia kembali dan merekrut pasukan dan mulai melakukan serangan terhadap pos militer Belanda yang dipasang pada akhir Perang Dunia II untuk merebut kembali Bali. Sejak pendudukan Jepang pada tahun 1942, I Gusti Ngurah Rai telah mengumpulkan pemuda-pemuda Bali yang bersatu dalam Gerakan Anti-Fasis (GAF).

Pada bulan September 1946, Belanda mengambil inisiatif menyerang. Dan pada 19 November 1946, Belanda berhasil menyerang dan mengepung pasukan yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai di Desa Margarana dekat Ubud.

Belanda mengirim utusan untuk meminta I Gusti Ngurah Rai menyerah. Jika dia menyerah, ia dan pasukannya akan diselamatkan. Tawaran itu datang dari Kapten Infanteri Belanda JBT Konig, salah satu perwira Batalyon Infanteri KNIL Gajah Merah, pasukan Belanda yang diperintahkan untuk menduduki Bali.

JBT Konig pernah dekat dengan I Gusti Ngurah Rai. Konig adalah salah satu perwira KNIL yang mengawasi Pendidikan Perwira Korps Prajoda di Gianyar, Bali sebelum kedatangan Jepang. I Gusti Ngurah Rai telah bergabung dengan Korps Prajoda sebelum pecahnya Perang Pasifik.

Suatu ketika, I Gusti Ngurah Rai bahkan menyelamatkan Konig dan seorang perwira KNIL lainnya dengan membantu mereka melarikan diri ke Jawa ketika Jepang mulai menyerang. Namun demikian, I Gusti Ngurah Rai menolak tawaran untuk menyerah kepada Belanda, meskipun tawaran itu datang dari Konig, mantan atasan terdahulunya. Untuk menjaga moral pasukan Indonesia di bawah komandonya, I Gusti Ngurah Rai tidak menjawab surat Konig.

Jawaban I Gusti Ngurah Rai ditujukan langsung kepada atasan Konig, Letnan Kolonel Infanteri Belanda Termeulen, pada 18 Mei 1946.

“Merdeka. Kami telah menerima tawaran Anda. Kami dengan ini menyampaikan jawaban berikut: Keamanan Bali adalah tanggung jawab kami. Sejak mendaratnya tentara Anda, pulau ini menjadi tidak aman. Keamanan telah terganggu karena Anda mengkhianati kehendak rakyat yang telah menyatakan kemerdekaannya. Mengenai tawaran untuk bernegosiasi, kami serahkan kepada kebijaksanaan para pemimpin di Jawa. Bali bukan tempat untuk pembicaraan diplomatik. Dan saya tidak berada dalam posisi untuk berunding. Atas nama rakyat Bali, saya hanya menginginkan hilangnya Belanda dari pulau Bali atau jika tidak saya bisa menjanjikan kepada Anda bahwa kita akan terus berjuang hingga tujuan kami tercapai. Jika Anda memilih untuk tinggal di Bali, pulau Bali akan menjadi pertempuran berdarah antara tentara Anda dan kami.”

Demikianlah jawaban dari I Gusti Ngurah Rai.

Demikianlah ketegasan I Gusti Ngurah Rai dalam menghadapi penjajah Belanda. Suratnya mencerminkan jiwa patriotiknya dan ketidakmungkinan untuk berunding dalam pengabdian untuk melawan penjajah.

Untuk menanggapi tawaran dari Belanda untuk menyerah, I Gusti Ngurah Rai berteriak “Puputan, Puputan”, yang berarti berjuang habis-habisan. Oleh karena itu perang ini disebut Pertempuran Puputan di Margarana, atau “perang habis-habisan”.

Pada tanggal 19 November 1946, di Desa Margarana dekat Ubud, I Gusti Ngurah Rai memimpin pasukan TNI (saat itu dikenal sebagai TRI) dalam pertempuran sengit melawan pasukan Belanda. Selama beberapa hari, Belanda terus melakukan pengepungan terhadap desa tersebut.

Meskipun menghadapi pasukan Belanda yang personel dan persenjatanya jauh lebih canggih dan bahkan didukung oleh pembom taktis, I Gusti Ngurah Rai, Komandan Resimen TRI Sunda Kecil (setara dengan pangkat Pangdam saat ini / Panglima Daerah Militer), dan pasukannya terus bertarung dengan gigih.

Pertempuran sengit dimulai di pagi hari hingga akhirnya, tidak ada lagi tembakan dari pihak Indonesia di siang hari. Seluruh pasukan TRI dalam pertempuran tersebut telah tewas, termasuk Komandan Resimen TRI Sunda Kecil, I Gusti Ngurah Rai, dan Kepala Staf Resimen TRI Sunda Kecil, I Gusti Putu Wisnu.

Sikap dan tindakan I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya telah memberikan tradisi kepemimpinan militer yang luar biasa dan inspiratif bagi generasi TNI berikutnya. I Gusti Ngurah Rai memimpin dengan contoh, memimpin dari garis depan, dan membuktikan patriotisme dengan pengorbanan tubuh dan jiwa.

Source link