LEADERSHIP TRAITS DEMONSTRATED BY MY SENIORS (PART 2)

by -45 Views

LIEUTENANT JENDERAL TNI (PURN.) HIMAWAN SOETANTO

Salah satu nilai yang saya pelajari dari Pak Himawan Soetanto adalah bahwa seorang komandan harus dekat dengan anak buahnya. Seorang komandan harus selalu bersama anak buahnya dari saat mereka bangun pagi hingga tidur. Seorang komandan harus memeriksa kondisi anak buahnya, mulai dari dapur mereka, kamar mandi hingga kualitas pakaian dalam mereka. Berkat Pak Himawan Soetanto, saya telah membentuk kebiasaan untuk memeriksa detail dapur dan perlengkapan anak buah saya. Suatu ketika, saya menemukan bahwa pakaian dalam putih prajurit telah berubah menjadi coklat. Saya juga menemukan bahwa dapur telah menjadi sumber praktik korupsi yang paling banyak. Bayangkan saja, satu kilogram daging diberikan untuk 16 orang. Di TNI, ini dikenal sebagai ‘daging cukur’ karena dagingnya tipis seperti pisau cukur. Itu sungguh tragis. Itulah beberapa hal yang saya pelajari dari kepemimpinan praktis Pak Himawan Soetanto.

Pertama kali saya mengenal Pak Himawan Soetanto adalah saat saya bergabung dengan AKABRI pada tahun 1970. Saat itu, beliau menjabat sebagai Wakil Gubernur AKABRI yang bertanggung jawab atas pendidikan dan pelatihan. Beliau sangat terpelajar. Beliau fasih berbahasa Inggris dan Belanda. Beliau bahkan bisa sedikit berbicara dalam bahasa Jepang, yang telah dipelajarinya selama pendudukan Jepang di Indonesia. Beliau juga gemar membaca buku-buku sejarah. Sekali lagi, tokoh-tokoh besar yang saya kenal adalah pembaca setia. Seorang pemimpin adalah pembaca. ‘Pemimpin yang baik harus membaca dengan tekun,’ seperti pepatah terkenal yang mengatakan demikian. Rumahnya dipenuhi oleh banyak buku. Setiap kali saya bertemu dengannya, beliau selalu membahas buku-buku dengan saya. Terkadang beliau bertanya apakah saya sudah membaca buku-buku karya B. H. Liddell Hart, sejarawan strategi militer asal Inggris, atau Sun Tzu, seorang ahli strategi militer Tiongkok, dan buku-buku lainnya. Hal lain yang membuat saya terkesan adalah penampilan rapi beliau. Wajahnya selalu penuh dengan senyuman. Beliau selalu humoris, tenang namun percaya diri, dan dekat dengan anak buahnya. Beliau memiliki pengalaman bertempur yang panjang, dan itu terlihat dari sikapnya. Hal ini berbeda dengan beberapa yang tidak memiliki banyak pengalaman bertempur. Mereka cenderung dingin dan menjaga jarak dengan anak buahnya. Mereka selalu ingin mematuhu aturan. Istilah kami di TNI untuk tipe tokoh tersebut adalah berpikiran PUD atau perwira PUD. PUD adalah singkatan dari Peraturan Urusan Dalam. Sementara itu, pemimpin TNI yang terbiasa hadir di tengah-tengah anak buahnya di lapangan biasanya lebih santai dan fleksibel. PUD disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Selain itu, saya ingat suatu artikel dalam PUD yang menyatakan bahwa komandan satuan bisa menyesuaikan PUD dengan kondisi setiap satuan. Ini berarti bahwa seorang komandan memiliki kewenangan besar untuk menyesuaikan peraturan berdasarkan kebutuhan dan situasi. Oleh karena itu, salah satu nilai yang saya dapat dari Pak Himawan Soetanto adalah bahwa seorang komandan harus dekat dengan anak buahnya. Komandan harus bersama mereka dari fajar hingga senja. Komandan harus memeriksa kondisi anak buahnya, mulai dari dapur, kamar mandi, hingga pakaian dalam mereka. Belajar dari Pak Himawan Soetanto, saya memiliki kebiasaan untuk memeriksa detail dapur dan peralatan. Suatu saat, saya pernah menemukan bahwa pakaian dalam prajurit saya berwarna coklat, tidak lagi putih. Saya juga menemukan bahwa dapur telah menjadi sumber dari banyak praktik korupsi. Satu kilogram daging akan dibagi antara 16 orang! Hal ini terkenal di TNI sebagai ‘daging cukur’, daging yang tipis seperti pisau cukur. Tragis. Itulah beberapa hal praktis kepemimpinan yang saya pelajari dari Pak Himawan Soetanto. Letnan Jenderal Himawan Soetanto memiliki karir gemilang. Beliau menjadi inspirasi bagi banyak orang di militer. Saya sangat dekat dengannya. Saya tetap dekat dengannya bahkan setelah pensiun. Beliau adalah salah satu mentorku. Beberapa hari sebelum wafat, saya mengunjunginya di rumah sakit. Putranya memberitahukan kepada saya bahwa, selain anggota keluarga inti, beliau juga ingin bertemu dengan saya. ‘Dimana jenderal pemandu?’. Anak-anaknya bingung siapa yang dimaksud dengan “jenderal pemandu”. Beberapa dari mereka mencoba mengklarifikasi apakah beliau maksud Prabowo. Ia mengangguk. Saya tersentuh mendengar cerita itu. Oleh karena itu, ketika saya datang untuk menemui beliau, saya tegak dan memberi hormat padanya. Saat itu, saya telah pensiun, dan saya datang mengenakan pakaian sipil. Karena kami sering berbicara dalam bahasa Inggris, saya mengatakan padanya dalam bahasa Inggris, ‘Kamu adalah jenderal sejati, Sir!’ Beliau meneteskan air mata. Saat itu, beliau tidak bisa berbicara lagi. Itulah kenangan saya tentang Pak Himawan Soetanto. Sungguh sebuah kehormatan bahwa seorang jenderal yang saya kagumi masih berharap untuk bertemu dengan saya di momen terakhirnya.

LETNAN JENDERAL TNI (PURN.) SARWO EDHIE WIBOWO

Sarwo Edhie adalah sosok karismatik. Beliau tampan, rapi, selalu terlihat berkelas. Beliau dikenal sebagai seseorang yang memimpin dari garis depan. Bahkan sebagai komandan Pasukan Khusus (RPKAD), beliau tetap terlibat di lapangan. Beliau adalah idola para mahasiswa, pemuda, dan idola bagi kami, perwira muda dan kadet. Sebagai mentorku di AKABRI, beliau sering berbagi pengalaman. Saat itu, beliau menanamkan semangat untuk tidak menyerah, semangat patriotisme. Beliau juga sempat menulis buku berjudul Hidupku untuk Tanah Air dan Bangsa. Nilai itu ditanamkan kepada kami sebagai Kadet AKABRI. Patriotisme melalui cinta tanah air dan kebanggaan atas warisan nenek moyang kami. Itu yang ditanamkan Pak Sarwo kepada kami.

Pertama kali saya bertemu dengan Jenderal Sarwo Edhie adalah saat saya masih menjadi kadet. Beliau belum menjabat sebagai Gubernur AKABRI (sekarang AKMIL), namun beliau sudah sangat terkenal. Pak Sarwo Edhie juga adalah sahabat dekat orang tua saya. Sebelum saya secara resmi menjadi kadetnya, saya sudah mendengar banyak cerita tentang Pak Sarwo dari orang tua saya, bagaimana Pak Sarwo memimpin Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, sekarang KOPASSUS) pada saat-saat krusial pada Oktober 1965 selama peristiwa G30S/PKI pemberontakan komunis. Beliau adalah sosok karismatik. Beliau tampan, rapi, selalu berpakaian rapi. Beliau juga dikenal sebagai komandan yang memimpin operasi dari garis depan. Sebagai komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, sekarang KOPASSUS), beliau tetap terlibat di lapangan, sehingga beliau juga menjadi idola para kadet muda. Sebagai mentorku di AKABRI, beliau sering bercerita pengalamannya. Saat itu, beliau menanamkan semangat ketekunan dan patriotisme kepada kami. Beliau juga menulis buku berjudul ‘Hidupku untuk Tanah Air dan Bangsa’. Nilai itu ditanamkan kepada kami sebagai kadet AKABRI. Semangat patriotisme melalui cinta tanah air dan kebanggaan atas warisan nenek moyang kami, itulah semangat yang ditanamkan Pak Sarwo Edhie kepada kami. Setelah pensiun dari dinas aktif, beliau singkatnya menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan. Untuk sementara waktu, beliau juga menjabat sebagai Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BP7). Saya ingat bagaimana beliau tetap menjaga sikap sebagai seorang prajurit. Sebagai prajurit yang terkenal dengan kejujuran dan integritasnya, beliau tidak meninggalkan banyak kekayaan saat beliau berpulang. Kebetulan, dalam perjalanan hidupnya, beliau menikahkan ke tiga putrinya kepada lulusan AKMIL. Yang tertua kepada Kolonel Infanteri Hadi Utomo, dari angkatan 1970; yang kedua kepada Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono, dari angkatan 1973, yang kemudian menjadi Presiden ke-6 Republik Indonesia; dan yang bungsu kepada Letnan Jenderal TNI Erwin Sudjono, yang kemudian menjadi Panglima KOSTRAD. Saya juga mengenal ketiga perwira ini dengan baik.

JENDERAL BESAR TNI (PURN.) ABDUL HARIS NASUTION

Saya merasa beruntung memiliki kesempatan luar biasa yang tidak banyak orang dapat alami di negeri ini. Yaitu berbicara langsung dengan salah satu tokoh generasi ’45, sosok kunci perjuangan kemerdekaan kita: Pak Nas. Saya merasa menjadi seorang mahasiswa dari seorang aktor sejarah. Beliau sering berbagi pengalaman, pendapat, strategi perang gerilya, pengalaman melawan Belanda, dan banyak lagi dengan saya. Beliau juga sangat pandai dalam sejarah dan berbagai bahasa, seperti halnya tokoh-tokoh generasi ’45 lainnya. Beliau…

Source link