Part I: The Leadership Qualities Demonstrated by My Seniors

by -46 Views

Ada pepatah yang mengatakan seorang guru sejati seharusnya bangga melihat muridnya melampaui dirinya. Seorang guru sejati akan memastikan bahwa murid-muridnya dan anak buahnya lebih sukses daripada dirinya. Seorang guru sejati tidak akan ragu untuk membimbing murid-muridnya untuk mencapai potensi penuh mereka dan mencapai jabatan tertinggi demi kepentingan bangsa dan negara. JENDERAL TNI (PENSIUN) KEMAL IDRIS

Saya berusia 17 tahun ketika saya kembali ke Indonesia dari Eropa. Saat itu, Pak Kemal Idris sudah menjadi sosok TNI yang sangat terkenal. Pada waktu itu, dia dikenal sebagai salah satu tokoh kunci rezim Orde Baru di awal pemerintahan Presiden Suharto. Pak Kemal Idris juga merupakan teman dari pamanku, yang meninggal dalam Pertempuran Lengkong. Ketika saya bertemu dengannya, Pak Kemal Idris berkata pada saya: ‘Aku adalah sahabat terbaik pamannya. Pamannya adalah orang yang sangat berani. Jika pamannya masih hidup hari ini, saya yakin dia akan menjadi Pangkostrad. Kamu harus mengikuti jejak pamannya, Subianto. Dia adalah seorang pahlawan.’ Saya masih ingat kata-katanya. Setelah saya mempelajari lebih lanjut tentang sejarah hidup Pak Kemal Idris, saya mengerti bahwa dia adalah orang yang sangat patriotik, berani, lurus, dan terbuka. Batalyon Kemal Idris merupakan batalyon TNI pertama yang masuk ke ibu kota setelah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia. Pada tanggal 17 Oktober 1952, Batalyon Kemal Idris terlibat dalam pengepungan Istana. Pak Kemal Idris adalah seorang yang berani, sangat pro-rakyat, dan sangat nasionalis. Dia sangat benci korupsi sehingga dia bahkan dengan berani mengkritik atasannya, sehingga banyak yang menganggapnya ‘nakal’. Namun, atasan selalu memberinya pengampunan dan selalu melindunginya karena dia adalah seorang yang sangat berani dan mampu memimpin pasukannya melawan Belanda.

Kemal Idris bertempur melawan pemberontak selama tahun 1950-an dan 1965. Setelah pemberontakan G30S/PKI tahun 1965, dia menjadi dekat dengan Pak Harto di Kostrad sebagai Wakil Kepala Staf. Setelah Pak Harto dipromosikan, Pak Kemal Idris menggantikan Pak Harto sebagai Pangkostrad. Kualitas Pak Kemal Idris yang saya ingat dan kagumi adalah sikapnya yang terbuka dan ramah, dan humoris. Dia selalu jujur dan mendukung orang-orang yang kurang beruntung. Namun, Pak Kemal Idris juga memiliki kekurangan. Dia adalah orang yang emosional dan sering membuat keputusan dan kesimpulan dengan tergesa-gesa sebelum benar-benar memahami situasi. Kadang-kadang, sifat ini membuatnya mendapat masalah.

Selama hidupnya, dia sering memberi saya nasihat. Setiap kali bertemu dengannya, dia selalu berbagi pengalaman dan kebijaksanaannya. Saya mendapatkan banyak wawasan kepemimpinan dari dia. Beberapa jam sebelum wafat, ajudan pribadinya memberi tahu saya bahwa dia sangat sakit, dan saya mengunjunginya di Rumah Sakit Abdi Waluyo di Menteng, Jakarta. Di atas ranjang kematiannya, dia berbisik kepada saya, ‘Prabowo, teruslah berjuang.’ Kata-kata terakhirnya kepada saya, ‘Jaga Negara ini, terima kasih.’ Saya memberi hormat kepadanya, dan air mata mulai mengalir di pipi saya. Itu adalah momen yang penuh emosi. Pada saat itu, saya sudah dipecat sebagai Pangkostrad. Saya bisa merasakan getaran jiwanya saat dia mengalami momen terakhir hidupnya.

JENDERAL TNI (PENSIUN) HARTONO REKSO DHARSONO

Selama Orde Baru, Pak Ton adalah salah satu sahabat terdekat Pak Harto. Dia berani mengoreksi Pak Harto, mengkritik dan mendorongnya untuk mendemokratisasi Indonesia. Dia menentang rezim otoriter dan berani mengkritik para atasan dan rekan-rekannya. Dia sangat populer di kalangan rakyat, mahasiswa, dan prajurit. Dia sering memakai topi Kujang. Dia muncul sebagai tokoh idola pahlawan. Dia diidolakan oleh pemuda Jawa Barat dan gerakan pemuda di Jakarta.

Jenderal TNI (PENSIUN) H. R. Dharsono yang dekat dengan orang-orang terdekatnya dikenal dengan julukan Pak Ton. Pak Ton dan Pak Kemal Idris sangat dekat dengan keluarga saya, terutama dengan orangtua saya. Pak Ton juga sahabat dari pamanku, Pak Subianto, dan ayah saya, Pak Soemitro. Dia bertugas sebagai Atase Pertahanan di London. Dia juga memiliki karier gemilang di TNI. Dia merupakan sosok yang menonjol di Kodam Siliwangi. Saat operasi untuk menekan pemberontakan PRRI/Permesta dan DI/TII, Hartono Dharsono memerintahkan batalyon dengan baik. Ketika pemberontakan G30S/PKI terjadi, dia menjadi Kepala Staf Kodam Siliwangi.

Dia akhirnya menggantikan Mayor Jenderal Ibrahim Adjie, kemudian menjadi Panglima Kodam Siliwangi dari tahun 1966 hingga 1969. Pada saat itu, dia berhasil memperkuat persatuan antara TNI dan rakyat. Dia sangat populer di kalangan rakyat, mahasiswa, dan prajurit. Dia sering memakai topi Kujang. Dia diidolakan sebagai sosok pahlawan, terutama oleh pemuda Jawa Barat dan gerakan pemuda ibu kota Jakarta.

Selama era Orde Baru, dia adalah salah satu pendukung terkuat Pak Harto. Dia berani mengoreksi Pak Harto, mengkritik Pak Harto dan mendorong Pak Harto untuk mewujudkan Indonesia yang lebih demokratis. Dia menentang rezim otoriter dan berani mengkritik para atasan dan rekannya. Akibatnya, dia dituduh mendukung tindakan teror dan sempat dipenjara sesaat. Saat itu, saya masih seorang perwira junior. Saya khawatir karena saya tahu dia difitnah dan dijebak mungkin oleh kelompok di Angkatan Darat yang tidak menyukainya. Ketika dia dipenjara, saya masih Letnan Dua. Saat saya mengikuti kursus dasar spesifik korps di Bandung, saya mengunjunginya dan bertemu dengan keluarganya. Kemudian ketika saya sudah Kapten, saya menjadi Wakil Komandan Detasemen 81. Pada saat itu, saya bertanggung jawab atas pembangunan markas Detasemen 81 di Jakarta dan memilih kontraktor dan subkontraktor. Saya mengetahui bahwa beberapa pemuda dari Bandung mendirikan perusahaan mebel dan mendaftar sebagai subkontraktor interior untuk markas tersebut. Saya tidak ragu untuk menunjuk perusahaan itu. Kemudian saya dimarahi oleh salah seorang atasan saya, yang berkata, ‘Diantara mahasiswa ITB yang mendirikan perusahaan…’

Source link