Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkapkan bahwa kasus korupsi dalam persetujuan ekspor minyak kelapa sawit (CPO) periode 2021-2022 menghadapi ancaman peningkatan hukuman jika tidak ada pemberian suap. Wahyu Gunawan, Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, disebut mengancam bahwa putusan kasus minyak goreng bisa mencapai hukuman maksimal tanpa suap. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar menjelaskan bahwa dalam konferensi persnya, Wahyu menekankan urgensi penyelesaian kasus tersebut.
Dalam pertemuan antara Wahyu, pengacara korporasi Ariyanto, dan Marcella Santoso, Wahyu menanyakan biaya yang dapat disediakan oleh terdakwa. Namun, Ariyanto menunda jawaban tersebut untuk berkoordinasi dengan kliennya terlebih dahulu. Ariyanto kemudian melaporkan ancaman tersebut kepada Marcella, yang kemudian berkomunikasi dengan Muhammad Syafei dari Wilmar Group untuk mengurus penyelesaian kasus.
Lebih lanjut, pengembangan kasus ini membawa ke hadirat Muhammad Arif Nuryanta, Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, yang menegaskan bahwa kasus CPO tidak akan mendapat vonis bebas, melainkan vonis Ontslag. Arif meminta agar total uang suap diperbesar menjadi Rp60 miliar untuk mempengaruhi putusan tersebut. Kasus ini melibatkan delapan tersangka, termasuk tokoh PN Jaksel, pengacara, dan hakim yang terlibat dalam vonis lepas terkait kasus korupsi tersebut.
Jaksa Abdul Qohar melaporkan bukti pemberian suap senilai Rp60 miliar dari pihak korporasi kepada Arif Nuryanta melalui jaringan komunikasi yang disebutkan sebelumnya. Arif menggunakan jabatannya untuk mempengaruhi vonis terhadap terdakwa korporasi dalam kasus minyak goreng terkait. Kasus ini menunjukkan dampak korupsi yang merugikan berbagai pihak terkait dan menimbulkan krisis kepercayaan terhadap lembaga hukum.