Israel Terpesona dan Terpikat oleh Keindahan Harta Karun Palestina

by -114 Views

Pertempuran di Jalur Gaza semakin memanas. Kelompok Hamas dan militer Israel masih saling serang yang membuat korban jiwa dan kerugian material di kedua pihak terus bermunculan.

Terbaru, ketegangan mulai merambat ke Tepi Barat (West Bank). Dalam laporan Reuters yang dikutip Jumat (20/10/2023), di wilayah yang dari dulu jadi titik panas konflik ini terjadi bentrokan antara tentara Israel dan pemukim Palestina. Tercatat lebih dari 70 warga Palestina tewas dalam kekerasan di Tepi Barat sejak 7 Oktober dan Israel telah menangkap lebih dari 800 orang.

Rangkaian kejadian beruntun ini membuat hubungan Israel-Palestina semakin memburuk. Banyak pihak mencoba menganalisis kembali akar masalah konflik. Salah satu yang menjadi perbincangan ihwal motif sumber daya alam di balik pendudukan Israel di Palestina. Apakah ada perebutan ‘harta karun’ di sana?

Palestina, ‘Harta Karun’ di Timur Tengah

Pada 1938, seorang geolog bernama A. Bonne memublikasikan riset “Natural Resources of Palestine”. Dia menyebut ada 3 sumber daya alam potensial di wilayah Palestina.

Pertama, sumber daya air. Di Timur Tengah, yang terkenal kering kerontang, air adalah sumber kehidupan tak ternilai. Hanya berkat air masyarakat bisa sejahtera dan negara bisa tumbuh.

Ketika negara Timur Tengah lain sibuk mencari air, Palestina justru sudah diberkahi air melimpah. Menurut Bonne, air bisa mudah ditemukan di Palestina. Saat mengebor tanah, air langsung deras keluar. Sungai-sungai jarang kekeringan karena siklus musim panas dan hujan selalu tepat bergantian.

Akibat air melimpah ruah dibarengi oleh kemunculan teknologi yang dibawa Inggris, maka sektor pertanian Palestina bisa tumbuh pesat. Bahkan, keberadaan air tak hanya berguna buat pertanian, tetapi juga energi listrik.

Karena tidak ada batu bara, rakyat Palestina lantas memanfaatkan air derasnya Sungai Yordan untuk sumber energi listrik. Pemanfaatan ini dibuktikan dengan keberadaan Palestine Electric Corporation pada 1926. Belakangan, kota-kota besar, seperti Tel Aviv dan Haifa, pembangkit listrik tenaga air mulai bermunculan.

Kedua, hasil hutan. Soal ini, Bonne tidak menjelaskan panjang lebar. Pasalnya, hasil hutan di Palestina hanya digunakan untuk kepentingan lokal, salah satunya, soal irigasi dan kepentingan penahan erosi.

Ketiga, sumber daya mineral. Ahli geologi itu menyebut Palestina tidak diberkahi dengan kekayaan mineral yang bernilai tinggi. Di sana memang banyak ditemukan kapur, basal, tembaga, mangan dan aspal, yang kala itu nilai ekonominya tidak begitu baik.

Namun, ada satu sumber daya yang sangat potensial, yakni minyak bumi. Dalam risetnya Bonne menuliskan, “Struktur geologi Palestina menunjukkan bahwa minyak bumi dan produk sejenisnya dapat ditemukan di beberapa tempat dalam jumlah yang menguntungkan secara ekonomi.”

Di sana Bonne memaparkan kata kunci “menguntungkan secara ekonomi.” Artinya, minyak bumi tersebut apabila dikelola dengan baik bisa membuat Palestina bisa mencapai kesejahteraannya.

Apalagi, ketika riset itu terbit pada 1938, sudah ada negara yang kaya raya berkat eksploitasi minyak bumi, seperti Amerika Serikat, Iran, dan negara Timur Tengah lain. Arab Saudi yang menemukan minyak di tahun 1948, juga kelak menjadi negara kaya raya. Jika mengacu pada kasus tersebut, maka Palestina harusnya bisa memiliki nasib sama.

Sayang, seiring waktu, jalan sejarah Palestina berbeda. Sepuluh tahun kemudian, tepat pada 1948, Davin ben-Gurion secara mengejutkan memproklamirkan negara Yahudi pertama di dunia bernama Israel di tanah Palestina. Dari sinilah, situasi mulai berbeda.

Merebut ‘Harta karun’

Sejak pendudukan pertama Israel dilakukan, tulis laporan PBB tahun 2019, penduduk Palestina mulai kehilangan kendali atas kepemilikan sumber daya alam, khususnya pasokan atas ‘harta karun’ air.

Otoritas Israel secara nyata menyita kepemilikan air rakyat Palestina. Dalam laporan Human Right Watch, penyitaan tersebut secara sah melanggar hukum internasional yang melarang pengambilalihan sumber daya wilayah lain demi keuntungan sendiri. Meski begitu, tetap saja Israel tak mundur. Bahkan, dalam catatan Amnesty International, pada 1967 Israel secara sadar mencabut hak warga Palestina atas air di Tepi Barat.

Kala itu, Israel melarang warga Palestina mengebor air sumur baru, memperdalam sumur, dan tidak diperbolehkan mengambil air dari Sungai Yordan. Bahkan, Israel juga mengontrol dan membatasi lokasi penampungan air hujan yang tersebar di Tepi Barat.

Praktis, tindakan ini membuat sekitar ratusan komunitas Palestina tidak memiliki akses terhadap air bersih. Sekalipun bisa terakses, airnya kecil sekali dan berkualitas sangat buruk. Dan ini terus berlangsung hingga kini. Menurut PBB, dampak dari kebijakan ini membuat ekonomi Palestina tidak tumbuh. Sektor pertanian dan industri hancur lebur.

Satu-satunya cara agar rakyat bisa memperoleh air adalah lewat pembelian. Pada titik inilah, PBB menyebut Israel melakukan bisnis karena melihat peristiwa ini menjadi pasar menarik bagi pertumbuhan ekspor.

Masalah ini hanya persoalan air. Belum lagi soal minyak bumi, yang seiring berjalannya waktu terbukti bahwa di tanah