Israel dan Palestina dikejutkan oleh serangan mendadak kelompok Hamas ke Israel dekat perbatasan Gaza pada akhir pekan pertama Oktober 2023. Serangan tersebut bertujuan merebut kembali Tanah Air warga Palestina dari pendudukan Israel, dan menjadi invasi terbesar yang dilakukan oleh kelompok pro-Palestina. Serangan ini menyebabkan sekitar 5.000 roket diluncurkan oleh Hamas dan menimbulkan korban jiwa di Israel. Militer Israel membalas serangan tersebut dan aksi tembak-menembak antara kedua belah pihak terus terjadi hingga sekarang.
Peristiwa ini juga membuka kembali catatan sejarah mengenai konflik Israel-Palestina. Israel telah terkenal akan kekuatan militernya yang mumpuni dan sering menang dalam perang. Meskipun negara ini pernah dikeroyok oleh negara-negara Arab setelah merdeka pada tahun 1948, Israel tetap berhasil keluar sebagai pemenang. Kehebatan militer Israel ini menjadikannya sebagai komoditas penjualan yang menarik perhatian negara lain. Namun, bagaimana kekuatan militer seperti ini bisa terjadi?
Sejak pendiriannya pada tahun 1948 oleh David Ben-Gurion, Israel telah menghadapi reaksi keras dari negara-negara Arab yang tidak menerima kehadiran Israel di Timur Tengah. Negara-negara Arab melihat Israel sebagai penindas warga Palestina dan konflik pun terus terjadi. Meskipun Israel mendapatkan dukungan penuh dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya, namun mereka menyadari bahwa dukungan tersebut tidak selamanya abadi.
Berdasarkan buku “The Weapons Wizard: How Israel Became a High-Tech Military Superpower” karya Yaakov Katz (2017), Israel mulai mengembangkan kekuatan militernya secara mandiri. Mereka menyadari pentingnya memiliki pertahanan yang kuat untuk menghadapi ancaman dari negara-negara Arab. Sehingga, pendirian Israel Defense Forces (IDF) menjadi prioritas utama bukanlah pembangunan ekonomi.
Kehadiran IDF kemudian mendapatkan dukungan positif dari Amerika Serikat. AS memiliki kepentingan di Timur Tengah dan ingin menjadikan Israel sebagai alat untuk menghalangi kekuatan negara-negara Arab dan pengaruh Soviet di wilayah tersebut. Sejak saat itulah, Israel mulai menerima bantuan militer yang besar dari AS.
Menurut dokumen “US Foreign Aid to Israel” (2022), Israel telah menerima bantuan terbesar dari AS sejak Perang Dunia II. Hingga tahun 2023, AS telah mengirimkan bantuan militer senilai US$124 miliar kepada Israel. Bantuan ini belum termasuk transfer pengetahuan teknologi yang juga diberikan oleh AS kepada Israel.
Dengan besarnya bantuan ini, IDF berhasil menjadi militer modern terbesar di dunia. Israel juga mulai menjual senjata produksi dalam negeri ke negara-negara lain. Produksi senjata ini dimulai sejak tahun 1990-an sebagai upaya Israel untuk mengurangi ketergantungannya terhadap pasokan senjata dari AS. Israel menghabiskan sekitar 4,5% dari GDP-nya untuk penelitian dan pengembangan, dan sekitar 30% dari anggaran penelitian tersebut digunakan untuk mengembangkan industri pertahanan.
Dari penelitian dan pengembangan ini, muncul empat perusahaan senjata ternama di Israel, yaitu Elbit, RAFAEL, IMI (Israel Military Industries), dan IAI (Israel Aircraft Industries). Produk-produk dari perusahaan ini mulai menarik perhatian dunia, seperti tank Merkava yang dianggap mematikan bagi musuh dan aman bagi pasukan Israel, serta drone Heron buatan IAI yang menjadi senjata andalan Uni Eropa untuk memantau datangnya para imigran dari Timur Tengah dan Afrika.
Selama menjalani bisnis senjata, Israel menggunakan konflik Israel-Palestina sebagai arena uji coba persenjataan mereka. Ketika berhasil, pengalaman ini akan digunakan sebagai alat promosi saat menjual senjata kepada negara lain. Palestina menjadi “laboratorium” bagi Israel dalam menguji teknologi militernya.
Dalam Database Transfer Senjata SIPRI pada Maret 2023, Israel masuk dalam 10 eksportir senjata terbesar di dunia dengan kontribusi 1,4% dari total penjualan senjata global pada periode 2018-2022. Menurut Reuters dan Times of Israel, nilai ekspor persenjataan Israel mencapai US$12,5 miliar pada 2022, naik 9,6% dibandingkan tahun sebelumnya.
Seluruh kesuksesan ini tidak terlepas dari Israel yang berhasil menjadikan Palestina sebagai “laboratorium” bisnis senjata mereka.